oleh

Wirawan Yogiyatno, S.Kom., M.Pd.

Guru Teknik Komputer dan Jaringan SMK Negeri 1 Seyegan

Penulis menempuh pendidikan terakhir di Pascasarjana Universitas Negeri Yogyakarta. Setahun sebelum pandemi Covid-19, penulis dikirim Kemdikbud untuk mengikuti pendidikan dan pelatihan di Korea Selatan. Penulis bisa dihubungi di pakwirawantkj@gmail.com atau melalui nomor 08562590708

 

 

PENDAHULUAN

Teknologi informasi dan komunikasi sudah merupakan barang yang tidak asing lagi bagi penduduk Indonesia. Internet sudah menjadi kebutuhan sehari-hari masyarakat Indonesia. Pertumbuhan pengguna Internet semakin meningkat dari tahun ke tahun. Asosiasi Pengusaha Jaringan Internet Indonesia (APJII) mensurvei pengguna internet di Indonesia setiap tahun. Pada 2016, pengguna Internet di Indonesia mencapai 132,7 juta pengguna. Jumlah ini meningkat menjadi 143,26 juta pada 2017. Angka ini terus meningkat hingga mencapai 171,17 juta pengguna pada 2018. Jumlah ini merupakan 64,8% dari total populasi penduduk Indonesia yang mencapai 264,16 juta jiwa (APJII, 2019:1).

Dari angka tersebut, penyumbang komposisi terbesar dari pengguna Internet adalah penduduk Indonesia berusia 15-19 tahun, yaitu sebanyak 91% (Haryanto, 2019). Jika dihitung menjadi angka, maka sebanyak 155,76 juta penduduk Indonesia berusia 15-19 tahun merupakan pengguna Internet yang aktif. Rentang usia ini merupakan penduduk Indonesia usia sekolah, tepatnya adalah usia sekolah menengah.

Pertanyaan yang timbul dari perilaku generasi ini adalah, apakah yang mereka akses dari Internet? Hootsuite dan We are social mengadakan survei serupa untuk mengetahui perilaku akses Internet penduduk Indonesia. Dari survei mereka, diketahui bahwa waktu akses Internet per hari penduduk Indonesia adalah 8 jam 36 menit. Secara acak, mereka menghabiskan 3 jam 26 menit untuk mengakses media sosial, 2 jam 52 menit untuk melihat video dalam jaringan, 1 jam 22 menit untuk mendengarkan musik streaming (Hootsuite, 2019). Bisa dikatakan bahwa kebanyakan yang diakses dari Internet oleh penduduk Indonesia, terutama bagian terbesarnya dari pengakses Internet yaitu generasi pelajar, adalah hiburan.

Keadaan di atas tentu saja merupakan keadaan yang memprihatinkan. Waktu akses Internet yang demikian lama oleh generasi pelajar Indonesia seharusnya bisa dialokasikan untuk pengaksesan hal-hal yang positif. Gambaran keadaan di atas sebenarnya merupakan potensi bagi pihak-pihak yang terkait dengan pendidikan Indonesia untuk menyediakan konten-konten pendidikan yang menarik yang bisa diakses melalui Internet kapan saja dan di mana saja. Dengan demikian, harapannya, potensi yang begitu besar dari penggunaan Internet oleh generasi pelajar Indonesia tidak tersia-siakan.

Untuk memenuhi keinginan adanya konten pendidikan yang bisa diakses sewaktu-waktu tersebut, perlu diadakan sebuah sistem pembelajaran yang mampu menyediakan pembelajaran tanpa batasan ruang dan waktu. Sistem pembelajaran tersebut hendaknya mampu diakses kapan saja, di mana saja, serta bisa mencatat kemajuan pembelajar setiap waktu. Salah satu sistem yang mampu memenuhi hal tersebut adalah lingkungan pembelajaran ubikuitus.

Pembelajaran ubikuitus merupakan evolusi pembelajaran dari pembelajaran konvensional ke pembelajaran elektronis (e-learning) yang kemudian berlanjut ke pembelajaran mobil (m-learning) (Yahya, Ahmad, & Jalil, 2010:125). Pembelajaran ubikuitus mempunyai tujuan untuk mengakomodasi pembelajar dalam gaya belajar mereka masing-masing dengan menyediakan informasi yang adekuat kapan pun, di mana pun, saat pembelajar membutuhkannya (Yahya et.al., 2010:125). Karakteristik pembelajaran ubikuitus yang demikian memenuhi kebutuhan akan adanya sistem pembelajaran yang mampu menyediakan pembelajaran tanpa batas ruang dan waktu.

Pembelajaran ubikuitus merupakan salah satu penerapan ilmu komputasi ubikuitus. Salah satu negara yang berambisi menerapkan komputasi ubikuitus adalah Republik Korea –atau dikenal juga sebagai Korea Selatan. Korea Selatan telah secara berkesinambungan mengembangkan strategi-strategi nasional bagi perkembangan masyarakat urban berbasis pengetahuan melalui agenda Cyber Korea, E-Korea (Electronic Korea), dan akhirnya U-Korea (Ubiquitous Korea) (Lee, Han, Leem, & Yigitcanlar, 2008: 148). Ubiquitous Korea direncanakan dicapai dengan menciptakan rangkaian kota ubikuitus (U-City) berbasis komputasi ubikuitus dan teknologi informasi komunikasi dengan cara menyediakan infrastruktur dan layanan kota ubikuitus pada ruang publik. Lee et.al. (2008:153) menyebutkan beberapa layanan yang disediakan oleh kota ubikuitus, di antaranya adalah U-life, U-business, U-government, pelayanan berbasis lokasi, sistem tranportasi cerdas, dan bangunan cerdas. Di antara sub layanan yang diberikan oleh U-life adalah pembelajaran ubikuitus, pendidikan ubikuitus, serta kampus ubikuitus.

Memperhatikan kebutuhan lingkungan pembelajaran ubikuitus yang diharapkan mampu menjawab permasalahan tantangan penggunaan Internet yang demikian besar di kalangan generasi pelajar di Indonesia, perlu kiranya ditinjau tentang teori dan konsep lingkungan pembelajaran ubikuitus, contoh penerapannya di Korea Selatan, serta proyeksi kemungkinan penerapannya untuk pendidikan di Indonesia.

TINJAUAN PUSTAKA

Istilah lingkungan pembelajaran ubikuitus berasal dari ilmu komputasi ubikuitus (Kang & Kim, 2015:168). Istilah komputasi ubikuitus pertama kali diperkenalkan oleh Mark Weiser pada tahun 1988 di XEROX PARC ketika menjabat sebagai direktur Computer Science Laboratory. Weiser (1993: 71) menyatakan bahwa komputasi ubikuitus mempunyai tujuan ketersediaan komputer-komputer secara berlanjut pada setiap lingkungan fisik namun tidak terlihat oleh penggunanya. Komputasi ubikuitus akan mengintegrasi tayangan informasi ke dunia fisik kita sehari-hari melalui alat-alat yang terhubung penuh melewati jaringan nirkabel sehingga informasi bisa diakses kapan saja dan di mana saja. Kang & Kim (2015:168) menyatakan bahwa komputasi ubikuitus digunakan untuk mendeskripsikan perpindahan dari komputasi umum dari keadaan tidak berpindah, seperti di atas meja, ke banyak peralatan, sehingga menjadikan komputasi tersedia pada seluruh aspek kehidupan sehari-hari (Kang & Kim, 2015: 168).

Weiser menyadari bahwa perkembangan komputasi ubikuitus akan memasuki dunia pendidikan. Bahkan, Weiser mendeskripsikan gambaran lingkungan kampus yang terbungkus komputasi ubikuitus (Weiser, 1998:41). Weiser (1998:42) menyebutkan contoh penerapan komputasi ubikuitus di kampus seperti kartu-kartu cerdas yang menampilkan beragam informasi, misalnya peta kampus yang mampu menunjukkan posisi keberadaan penggunanya dan rute ke tempat tujuan, serta mampu menyiarkan lokasi pemegangnya ke kartu cerdas pengguna lain. Weiser (1998:42) juga menyebutkan contoh lain, misalnya kartu jadwal kuliah yang mampu menampilkan informasi termutakhirkan, kartu layanan makan yang mampu menunjukkan menu dan waktu tunggu masaknya, serta dinding papan ide dengan pena elektronik di asrama mahasiswa. Beberapa ide Weiser telah terwujud secara umum tidak hanya dalam kehidupan kampus.

Pandangan Weiser terhadap penggunaan komputasi ubikuitus membawa ide untuk menerapkan komputasi ubikuitus pada ranah pembelajaran. Sama halnya dengan ide Weiser akan komputasi ubikuitus secara umum dalam kehidupan sehari-hari, pada pembelajaran ubikuitus, komputasi ubikuitus terjadi di sekeliling pembelajar, entah mereka menyadarinya atau tidak (Liu, Tan, & Chu, 2009:161). Dengan demikian bisa dikatakan bahwa pembelajaran ubikuitus berdiri di atas platform pembelajaran atau lingkungan yang dibangun oleh teknologi komputasi ubikuitus. Pada konteks pembelajaran ubikuitus, belajar adalah aktivitas yang spontan dan alami. Apa yang diperhatikan oleh pembelajar bukanlah aspek lingkungan pembelajaran ataupun perangkat pembelajaran, namun tujuan pembelajaran itu sendiri. Dengan kata lain, pembelajaran ubikuitus bersifat terpusat pada pembelajar dan berfokus pada tugas pembelajaran. Teknologi hanya memfasilitasi pembelajaran dan tidak seharusnya menganggu pembelajaran.

Perubahan yang cepat dalam kajian lingkungan pembelajaran membuat para ahli memberikan definisi berbeda terhadap istilah pembelajaran ubikuitus. Ogata dan Yano dalam Jung (2014:98) mendefinisikan pembelajaran ubikuitus dengan membandingkan empat lingkungan pembelajaran (pembelajaran berbantuan desktop, pembelajaran mobil, pembelajaran pervasif, dan pembelajaran ubikuitus) dan mengklasifikan pembelajaran pervasif dan pembelajaran mobil sebagai pembelajaran ubikuitus. Casey dalam Jung (2014:98) mendukung hal ini dengan mengajukan klaim bahwa pembelajaran ubikuitus mengombinasikan pembelajaran elektronis dan pembelajaran mobil. Sebagai tambahan, Yang et. al. dalam Jung (2014:98) menulis bahwa pembelajaran ubikuitus secara luas didefinisikan sebagai pembelajaran berbasis pada teknologi komputasi ubikuitus seperti penggunaan Radio Frequency Identification (RFID) dan telepon seluler cerdas dengan jaringan nirkabel yang aktif. Jung (2014:99) sendiri mendefinisikan pembelajaran ubikuitus sebagai paradigma pembelajaran baru yang menyediakan sumber daya atau jaringan pembelajaran dengan komunikasi dan ketersambungan kapan saja, di mana saja berdasarkan pada situasi pembelajar menggunakan perkakas cerdas seperti telepon cerdas, sabak digital, dan komputer cerdas.

Mengombinasikan ide-ide ahli sebelumnya, Yahya et. al. (2010:121) menyatakan lima karakteristik pembelajaran ubikuitus yang disepakati para ahli, yaitu permanensi, aksesibilitas, ketersegeraan, interaktifitas, serta kesadaran-akan-konteks. Permanensi merupakan sifat ketetapberadaan suatu informasi kecuali pembelajar secara sengaja menghilangkannya. Aksesibilitas merupakan karakter bahwa informasi senantiasa tersedia setiap saat pembelajar butuh menggunakannya. Ketersegeraan merujuk pada sifat informasi yang bisa diperoleh secara cepat oleh pembelajar. Interaktifitas merupakan keadaan bahwa pembelajar mampu berinteraksi dengan sesama pembelajar, guru, dan ahli secara efisien dan efektif melalui media-media yang berbeda. Kesadaran-akan-konteks merujuk kepada keadaan bahwa lingkungan mampu beradaptasi terhadap situasi nyata pembelajar untuk menyediakan informasi yang memadai kepada pembelajar.

Li, Zheng, Ogata, & Yano (2005:244) mengemukakan model kerangka kerja konseptual lingkungan pembelajaran ubikuitus. Menurut Li et. al. (2005:245), lingkungan pembelajaran ubikuitus merupakan lingkungan pembelajaran yang terintegrasi dari banyak dimensi, seperti fisik, sosial, informasional, dan teknis. Dalam lingkungan pembelajaran ubikuitus, integrasi dan koordinasi antara sekolah, komunitas, dan keluarga akan berlangsung secara tidak kentara. Mereka akan berkomunikasi, berkolaborasi, serta berkoordinasi untuk kualitas dan efisiensi pendidikan.

Dalam pandangan Li et. al. (2005:245), setiap orang mampu mengakses sumber daya informasi dan pengetahuan kapan saja, di mana saja, dengan peralatan apa pun. Seorang guru dapat menggunakan komputer di kelasnya untuk mencari sumber pembelajaran, menggunakan telepon seluler untuk menugaskan pekerjaan rumah kepada peserta didiknya, atau mengatur penjadwalan pelajarannya. Seorang peserta didik di taman sekolah menggunakan telepon selulernya untuk mengakses informasi jadwal dari fasilitatornya. Orang tua peserta didik dari rumah mampu meramban tugas-tugas putra-putrinya atau berdiskusi dengan guru untuk mengetahui kemajuan belajar putra-putrinya.

Untuk mewujudkan pembelajaran ubikuitus perlu terdapat komponen-komponen agar pembelajaran ubikuitus benar-benar menjadi pembelajaran yang kapan saja dan di mana saja. Kang & Kim (2015:168) menyebutkan empat komponen pembelajaran ubikuitus, yaitu kesadaran-akan-konteks, sistem pemosisi global (GPS), sensor, teknologi nirkabel, serta teknologi mobil.

Kesadaran akan konteks didefinisikan sebagai pengembangan dari kesadaran akan lokasi. Dey & Salber dalam Li, et. al. (2005:246) mendefinisikan konteks sebagai sebarang informasi yang bisa digunakan untuk mengarakterisasi situasi atau entitas (misalnya orang, tempat, atau benda) yang dipertimbangkan relevan terhadap interaksi antara pengguna dan aplikasi, termasuk pengguna dan aplikasi itu sendiri. Konteks secara tipikal adalah lokasi, pengenalan dan keadaan manusia, kelompok, serta objek fisik maupun komputasional. Konteks bisa lebih diterapkan secara fleksibel dengan komputasi mobil dan sembarang entitas bergerak. Kesadaran akan konteks berasal dari istilah ilmu komputasi ubikuitus atau yang lebih dulu dikenal sebagai komputasi pervasif yang digunakan sebagai solusi terhadap perubahan berantai dalam lingkungan bersistem komputer di mana lingkungan tersebut statis.

Sistem pemosisi global merupakan sistem satelit navigasi global berbasis ruang angkasa yang menyediakan informasi lokasi dan waktu pada seluruh cuaca dan seluruh waktu serta kapan saja pada lokasi bumi ketika tidak ada penghalang jalur pancar ke empat atau lebih satelit pemosisi. Sistem pemosisi global diurus oleh pemerintah Amerika Serikat dan bisa diakses oleh siapa pun secara bebas dengan penerima sinyal sistem pemosisi global.
Sensor mampu mendeteksi sembarang perubahan di sekeliling sensor tersebut. Sensor ditempatkan di dekat objek yang digunakan untuk mengenali kehadiran pembelajar, mendeteksi gerakan, cahaya, dan lainnya, serta meneruskan informasi konteks.

Komunikasi nirkabel berguna untuk mensuplai layanan data ke titik akses data jauh yang tidak mempunyai akses terhadap koneksi kabel berkecepatan tinggi. Tantangan penggunaan teknologi nirkabel untuk mendukung jaringan adalah kerumitan yang dikarenakan perbedaan standar, sehingga membatasi antaroperabilitas peralatan jaringan yang berbeda.

Jung (2014:99) menyebutkan komponen-komponen pembelajaran ubikuitus dalam penerapannya, yaitu sistem manajemen pembelajaran, identifikasi frekuensi radio (RFID), dan telepon cerdas nirkabel. Sistem manajemen pembelajaran merupakan sistem pembelajaran berbasis web yang komprehensif dan aman yang menyediakan antarmuka kepada pembelajar. Sistem manajemen pembelajaran ini merupakan perangkat lunak yang digunakan untuk administrasi, dokumentasi, penelusuran, dan pelaporan program pembelajaran, kejadian di kelas, program pembelajaran ubikuitus, serta materi pelatihan dan terkoneksi dengan basis data materi pembelajaran. Pembelajar menggunakan RFID atau telepon cerdas mampu mengakses sistem manajemen pembelajaran melalui jaringan nirkabel untuk melakukan berbagai macam aktivitas pembelajaran seperti berbagi materi dan berkomunikasi dengan pembelajar lainnya dan juga dengan instruktur.

 

PEMBAHASAN

Di Korea Selatan, konektivitas ubikuitus sudah merupakan gaya hidup. Koneksi internet super cepat secara nirkabel tersedia merata di segala penjuru Korea Selatan. Bisa dikatakan, penduduk Korea Selatan merupakan salah satu kumpulan penduduk yang paling terkoneksi di planet ini. Pembayaran digital diterima di toko-toko. Sopir taksi biasa menyematkan sekitar empat layar digital di papan kendali mobil mereka.

Seung Keon Kim (ITU News, 2018), wakil presiden Korea Association for ICT Promotion, menyatakan tiga faktor besar yang telah mendasari pertumbuhan digital Korea Selatan; sistem pendidikan yang maju, karakter budaya, serta visi pemerintah tentang teknologi informasi dan komunikasi. Rakyat Korea Selatan menjunjung tinggi nilai pendidikan. Pendidikan dianggap sebagai pembawa kemajuan masyarakat dan negara. Korea Selatan memfokuskan kepada ilmu-ilmu dasar seperti matematika dan sains yang merupakan prasyarat pada ilmu lanjutan seperti teknik dan ekonomi. Walaupun memfokuskan kepada ilmu-ilmu dasar, pelajar Korea difasilitasi dengan integrasi teknologi informasi dan komunikasi pada semua tingkat pendidikan untuk mengasuh pembelajar abad keduapuluhsatu. Kim (ITU News, 2018) mengatakan bahwa tujuan pendidikan di Korea Selatan adalah untuk menguatkan kapasitas pembelajar abad keduapuluhsatu, dengan memfokuskan pada 4C, yaitu critical thinking and problem-solving (kemampuan berpikir kritis dan menyelesaikan masalah), collaboration (kolaborasi), character (karakter), dan communication (komunikasi).

Pendidikan merupakan komponen penting perubahan ke digitalisasi di Korea Selatan, namun perubahan sosial dipercepat oleh karakter budaya Korea, khususnya keinginan untuk bergerak cepat sebagai kekuatan di belakang adopsi teknologi informasi dan komunikasi pada masyarakat Korea. Masyarakat Korea mengenal istilah ‘pali-pali’ yang bermakna cepat dan semakin cepat. Karakter ini pun diadopsi pada penerimaan masyarakat akan perubahan teknologi informasi dan komunikasi. Ambisi untuk bergerak cepat menuju teknologi baru digabung dengan fleksibilitas adaptasi telah membuat Korea Seatan unggul di bidang teknologi dan informasi.

Dukungan pemerintah terhadap pengembangan teknologi informasi dimulai awal 1990-an ketika Internet mulai naik daun. Pada akhir 1990-an, Korea Agency for Digital Opportunity & Promotion (KADO) dibuat untuk meningkatkan akses ke Internet dan menyuplai pelatihan literasi digital kepada lebih dari 10 juta penduduk agar siap Internet (ITU News, 2018). Dari sisi anggaran, pemerintah Korea Selatan sangat mendukung program riset dan pengembangan. Korea Selatan membelanjakan sekitar 91 milyar dollar Amerika dalam bidang riset dan pengembangan (ITU News, 2018). Untuk mengatasi kesenjangan digital antara daerah perkotaan dan pedesaan di Korea Selatan, pemerintah Korea Selatan memutuskan untuk memasang Broadband Convergence Network (BcN) pada 2004. Dengan program tersebut, Korea Selatan merupakan pionir dalam menghubungkan daerah-daerah terjauh.

Pada bidang pendidikan, Korea Selatan mempunyai program jangka panjang integrasi teknologi informasi dan komunikasi ke ranah pendidikan. Program yang telah berevolusi kesekian kalinya ini dimulai sejak dekade 1970-an dengan dikeluarkannya instruksi untuk memasukkan komputasi pendidikan ke pendidikan tinggi dan menengah (Severin & Capota, 2011). Sejak itu, banyak kebijakan yang telah dibuat untuk mendukung pembangunan infrastruktur teknologi pada bidang pendidikan. Hal yang menarik dari program integrasi ini adalah program ini dikerjakan secara berkesinambungan dan berkelanjutan oleh pemerintah terlepas dari pergantian situasi politik yang terjadi. Severin & Capota (2011:2) mendata beberapa kebijakan integrasi teknologi informasi dan komunikasi ke bidang pendidikan di Korea Selatan, yaitu pelatihan guru di bidang teknologi informasi dan komunikasi, penggunaan pembelajaran elektronik, serta penggunaan platform teknologi terpusat untuk keperluan administrasi.
Program pelatihan guru di bidang teknologi informasi dan komunikasi terdapat di setiap provinsi. Banyak program ini yang ditawarkan secara online melalui platform pembelajaran elektronik. Program ini telah menolong guru-guru menggunakan teknologi secara efektif di kelas-kelas. Menurut KERIS (Korea Education and Research Information Service), dalam Severin & Capota (2011), 72% dari seluruh guru Korea telah menggunakan teknologi di kelas mereka.

Pembelajaran elektronik digunakan untuk menguatkan kurikulum, meningkatkan komunikasi, dan menjembatani jurang akses terhadap pendidikan berkualitas. Salah satu yang termasuk dalam program resmi pemerintah dalam bidang ini adalah digitalisasi buku teks. Buku teks digital yang dihasilkan dari program resmi pemerintah Korea Selatan ini merupakan buku digital yang interaktif yang berisi teks, buku referensi lanjutan, lembar kerja, glosarium, dan terintegrasi dengan video klip, animasi, serta realitas maya. Kementerian Pendidikan, Sains, dan Teknologi menyatakan bahwa buku teks digital ini dapat dikustomisasi sesuai dengan karakteristik peserta didik dan tingkat akademisnya (Severin & Capota, 2011:5).

Selain buku digital, program pemerintah di bidang pembelajaran elektronik adalah pencanangan sistem pembelajaran rumah siber (Severin & Capota, 2011:5). Program ini dicanangkan pemerintah Korea Selatan untuk mengatasi kesenjangan antara masyarakat sejahtera dan pra sejahtera dikarenakan masyarakat sejahtera mampu membiayai keluarga mereka untuk mendapatkan pendidikan tambahan yang tidak mampu digapai oleh masyarakat pra sejahtera. Program ini menyediakan materi pembelajaran tambahan yang bebas dipelajari di rumah melalui Internet untuk mengurangi biaya tutor privat. Program ini telah digunakan lebih dari 3 juta pelajar, setengahnya berasal dari masyarakat pedesaan dan pra sejahtera.

Dengan maraknya penerapan pembelajaran elektronik pada beragam konteks pendidikan, pemerintah Korea Selatan telah menerapkan proses sertifikasi untuk mengendalikan kualitas program pembelajaran elektronik. Untuk mendukung kualitas industri pembelajaran elektronik, pemerintah menetapkan Hukum Pengembangan Industri Pembelajaran Elektronik pada Januari 2004 (Severin & Capota, 2011:5). Pada 2006, KERIS membangun sistem sertifikasi kualitas untuk isi pembelajaran elektronik, sebuah bentuk sistematis bagi sistem sertifikasi kualitas materi pendidikan (Severin & Capota, 2011:5).

Selain menggalakkan penggunaan teknologi informasi dan komunikasi langsung di kelas, pemerintah Korea Selatan juga mengeluarkan platform yang mengorganisasi dan mengelola data administratif pendidikan secara nasional (Severin & Capota, 2011:6). Contoh dari kebijakan ini adalah adanya Sistem Informasi Pendidikan Nasional dan Sistem Pengungkapan Informasi Pendidikan. Sistem Informasi Pendidikan Nasional memfasilitasi permasalahan administratif sekolah seperti penggajian, informasi pribadi, pendaftaran peserta didik. Sistem ini telah menggabungkan informasi dari 10.000 sekolah dasar dan menengah, 16 kantor pendidikan daerah, Kementerian Pendidikan, Sains, dan Teknologi, serta institusi lainnya untuk melakukan tugas-tugas administrasi pendidikan secara efisien. Sistem Pengungkapan Informasi Pendidikan memungkinkan semua orang tua dan peserta didik untuk mengakses segala informasi pendidikan kapan saja dan di mana saja. Sistem informasi ini mengelola beragam informasi pendidikan seperti peraturan sekolah, status pelajar, status guru, lingkungan pendidikan, pencapaian sekolah, hasil ujian, serta hasil ujian berstandar nasional. Sistem ini menjamin hak pelajar dan orang tua untuk mengetahui dan meningkatkan perhatian serta partisipasi masyarakat pada pendidikan. Severin & Capota (2011:6) menyatakan bahwa situs ini sering kali digunakan; diakes 20.000 orang per hari; dan sudah digunakan 7 juta lebih orang sejak dimunculkan pada tahun 2008.

Severin & Capota (2011:7) menyebutkan bahwa ada tiga rencana besar dalam kebijakan integrasi teknologi dalam pendidikan di Republik Korea. Rencana besar pertama berjalan di tahun 1996 sampai 2000. Rencana besar kedua berjalan dari 2001 sampai 2005. Tahun 2006 sampai saat ini merupakan penerapan rencana besar ketiga. Sehubungan dengan pembelajaran ubikuitus, pemerintah Korea Selatan mencanangkannya di rencana besar ketiga. Pada kebijakan infrastruktur, pemerintah Korea Selatan menekankan pada penggabungan banyak platform ke bidang pendidikan untuk terwujudnya pembelajaran ubikuitus. Pada rencana besar ketiga ini pulalah secara resmi proyek pembelajaran ubikuitus dimunculkan pemerintah Korea Selatan.

Contoh penerapan lingkungan pembelajaran ubikuitus yang terdokumentasi di Korea Selatan adalah yang dilakukan oleh Hee-Jung Jung dari Universitas Chosun (Jung, 2014). Jung merancang lingkungan pembelajaran ubikuitus untuk pembelajaran bahasa Inggris bagi 376 pelajar dari tingkat sekolah dasar, menengah, dan mahasiswa perguruan tinggi. Lingkungan pembelajaran ubikuitus tersebut didesain dengan memasukkan karakteristik-karakteristik ubikuitus seperti dapat diakses kapan saja dan di mana saja, kustomisasi konteks, interaktifitas, pembelajaran terpandu mandiri, dan penikmatan terindra.

Jung (2014:99) mengembangkan sebuah lingkungan pembelajaran ubikuitus untuk pembelajaran bahasa Inggris yang terdiri atas sistem pengelola pembelajaran berbasis web yang bisa diakses melalui telepon cerdas nirkabel dan RFID. Sistem pengelola pembelajaran ini merupakan perangkat lunak berbasis web yang digunakan untuk pengaksesan materi pembelajaran yang terhubung ke basis data, juga untuk dokumentasi, administrasi, penelusuran, pelaporan pembelajaran, serta kegiatan-kegiatan di kelas. Pembelajar menggunakan RFID atau telepon cerdas mengakses sistem manajemen pembelajaran melalui jaringan nirkabel untuk melakukan berbagai macam aktivitas pembelajaran seperti berbagi materi dan berkomunikasi dengan pembelajar lainnya dan juga dengan instruktur.

Pelajar yang menggunakan lingkungan pembelajaran ubikuitus kembangan Jung mengaku bahwa dengan pembelajaran ubikuitus tersebut, mereka mampu mengakses materi pembelajaran bahasa Inggris kapan saja di mana saja dan secara segera (Jung, 2014:114). Mereka juga mampu mengustomisasi materi pembelajaran sesuai dengan tingkat kemampuan mereka (Jung, 2014:114). Bahkan pembelajar mampu merancang sendiri materi pembelajaran bahasa Inggris pada lingkungan pembelajaran ubikuitus tersebut (Jung, 2014:114).

Pada sisi interaktifitas, pembelajar mampu berinteraksi dengan pembelajar bahasa Inggris lainnya maupun guru melalui lingkungan pembelajaran ubikuitus tersebut dengan komunikasi yang simultan (Jung, 2014:114). Dengan fitur proses pembelajaran terpadu-mandiri pada lingkungan pembelajaran ubikuitus tersebut, pembelajar mampu menemukan materi pembelajaran bahasa Inggris yang ia inginkan dan ia anggap penting (Jung, 2014:115).
Pembelajar yang mengakses lingkungan pembelajaran ubikuitus kembangan Jung menyatakan senang belajar dengan fasilitas tersebut (Jung, 2014:115). Mereka juga mengaku lebih menikmati pembelajaran bahasa Inggris melalui lingkungan pembelajaran ubikuitus tersebut (Jung, 2014:115).

Sebagaimana pengembangan lingkungan pembelajaran ubikuitus di Korea Selatan pengembangan dan penerapan lingkungan pembelajaran ubikuitus di ranah pendidikan Indonesia sangat mungkin untuk diterapkan. Sehubungan dengan pencapaian teknologi informasi dan komunikasi Korea Selatan, dikatakan oleh Kim (ITU News, 2018) bahwa jika Korea mampu melakukannya maka negara mana pun mampu melakukannya.

Dunia pendidikan Indonesia mempunyai beberapa faktor pendukung yang memungkinkan terwujudnya lingkungan pembelajaran ubikuitus. Faktor-faktor pendukung tersebut adalah sudah banyaknya pelajar yang sehari-hari menggunakan telepon seluler cerdas secara pribadi, sudah banyaknya sekolah-sekolah yang mempunyai situs pembelajaran elektronis sendiri, semakin banyaknya guru yang berliterasi teknologi informasi dan komunikasi, serta sudah banyak sekolah-sekolah yang memfasilitasi ruang sinyal (hot spot) di area sekolah.

Dengan beberapa faktor pendukung di atas, pengembangan lingkungan pembelajaran ubikuitus pada dunia pendidikan di Indonesia sebenarnya sudah di ambang mata. Dari tinjauan pustaka sebelumnya, telah diketahui bahwasanya komponen-komponen minimal pembangun lingkungan pembelajaran ubikuitus adalah sistem manajemen pembelajaran (learning management system), telepon seluler cerdas, ruang sinyal, serta identifikasi frekuensi radio. Bisa dikatakan faktor-faktor pendukung yang sudah tersedia di mayoritas lingkungan pendidikan di Indonesia sebagaimana dibahas sebelumnya sebenarnya sudah merupakan komponen-komponen pembangun lingkungan pembelajaran ubikuitus.

Berdasarkan Global Education Census yang dilakukan oleh Cambridge International, pelajar Indonesia termasuk di antara pengguna teknologi informasi dan komunikasi tertinggi di dunia (Cambridge International, 2018). Yang menggembirakan adalah mereka juga menggunakan teknologi informasi dan komunikasi ini untuk keperluan pendidikan. Pelajar Indonesia menggunakan teknologi informasi dan komunikasi di kelas-kelas mereka lebih dari teman sebaya mereka di negera lain. Pelajar Indonesia menduduki peringkat tertinggi secara global sebagai pengguna laboratorium komputer atau ruang teknologi informasi komunikasi, sebanyak 40%, di sekolah. Dalam hal penggunaan komputer desktop, pelajar Indonesia juga menduduki peringkat tertinggi, yaitu sebanyak 54%, di dunia setelah Amerika Serikat. Hal yang lebih menarik adalah lebih dari dua pertiga pelajar Indonesia, yaitu 67%, menggunakan telepon seluler cerdas di dalam pelajaran kelas. Bahkan, mereka menggunakan telepon seluler tersebut lebih sering untuk membantu mengerjakan pekerjaan rumah, yaitu sebanyak 81%. Pelajar Indonesia juga menduduki peringkat tertinggi setelah Amerika Serikat dalam hal menggunakan laptop untuk mengerjakan pekerjaan rumah mereka, yaitu 84% sedangkan pelajar Amerika Serikat sebanyak 85%.

Sebagian sekolah-sekolah di Indonesia sudah menggunakan perangkat lunak sistem pengelola pembelajaran (learning management system). Beberapa nama produk perangkat lunak sistem pengelola pembelajaran yang sudah jamak digunakan di dunia pendidikan Indonesia adalah Moodle, eFront, ILIAS, Dokeos. Fitur-fitur perangkat lunak sistem pengelola pembelajaran tersebut sudah cukup mumpuni dalam menangani pengelolaan materi pembelajaran, pemberian tugas dan ujian, penelusuran kemajuan pembelajar, komunikasi sesama pembelajar dan juga antara pembelajar dengan guru. Dengan kata lain, dengan sudah adanya perangkat lunak sistem pengelola pembelajaran yang digunakan sekolah-sekolah, transisi dari pembelajaran elektronik menggunakan perangkat lunak tersebut ke pembelajaran ubikuitus tidak terlalu membutuhkan jerih payah yang besar.

Mengombinasikan faktor-faktor pendukung yang sudah tersedia, seraya memandangnya dari sisi pandang komponen lingkungan pembelajaran ubikuitus, maka diusulkan rancangan penerapan lingkungan pembelajaran ubikuitus pada satuan pendidikan adalah sebagai berikut:

 

 

Gambar 1 : Rancangan Penerapan Lingkungan Pembelajaran Ubikuitus

Lingkungan pembelajaran ubikuitus di atas terdiri atas empat komponen, yaitu server yang menyediakan perangkat lunak sistem pengelola pembelajaran (learning management system), titik-titik akses, telepon cerdas yang di dalamnya terpasang aplikasi untuk mengakses sistem pengelola pembelajaran, dan sistem identifikasi frekuensi radio.

Sistem pengelolaan pembelajaran kebanyakan berbasis web sehingga pengembangannya pun serupa dengan pengembangan web sekolah. Sebagian sistem pengelolaan pembelajaran ini merupakan perangkat lunak yang gratis sehingga konsekuensi pembiayaannya pun dapat ditekan, seperti Moodle dan eFront. Yang diperlukan agar sistem pengelolaan pembelajaran ini berjalan adalah penyedia layanan web (web server) dan nama domain. Hal ini bisa dilakukan dengan membuat server sendiri dan menempatkannya di sekolah ataupun dengan menyewa layanan hosting. Sekali sistem pengelolaan pembelajaran berjalan, maka langkah selanjutnya adalah melakukan penambahan fitur-fitur tertentu sehingga sistem pengelolaan pembelajaran tersebut memadai sebagai komponen lingkungan pembelajaran ubikuitus. Beberapa perangkat lunak tersebut mempunyai forum-forum pengguna yang aktif berkontribusi mengembangkan modul-modul tambahan yang mampu membantu proses transisi dari pembelajaran elektronis ke pembelajaran ubikuitus.

Jika sistem pengelolaan pembelajaran sudah memenuhi fitur-fitur sebagai komponen lingkungan pembelajaran ubikuitus, langkah selanjutnya yang bisa dilakukan adalah mengemas pengaksesan terhadap sistem tersebut menjadi paket android yang bisa dipasang di telepon seluler bersistem operasi Android. Pengemasan menjadi APK bisa dilakukan dengan perangkat lunak Android Studio, atau melalui layanan gratis seperti Web2Apk dan Appgeyser. Hasil pengemasan sistem pengelolaan pembelajaran menjadi paket android bisa didistribusikan lewat GooglePlay atau secara mandiri kepada guru dan siswa. Dengan demikian, mereka bisa memasang paket tersebut di telepon cerdas masing-masing dan siap untuk mengakses sistem pengelolaan pembelajaran.

Setelah sistem pengelolaan pembelajaran sudah tersedia, yang perlu ditindaklanjuti adalah kemudahan akses sistem tersebut, khususnya di sekolah. Hal ini bisa dilakukan dengan intensifikasi pemasangan ruang sinyal. Pemetaan pemasangan titik-titik akses perlu dilakukan dengan memperhatikan tata letak bangunan sekolah agar tercipta ketersinambungan akses. Kemudahan akses ke sistem pengelolaan pembelajaran juga perlu diatur seperti misalnya dengan menggunakan jalan elak (bypass) tanpa sandi. Dengan demikian, walaupun pengguna sistem pengelolaan pembelajaran berpindah tempat di dalam lingkungan sekolah, namun asal perangkat yang dipakai mampu menangkap sinyal, ia tetap terhubung ke sistem pengelolaan pembelajaran tersebut.

Teknologi identifikasi frekuensi radio (RFID) mudah diterapkan pada lingkungan pembelajaran ubikuitus karena murah, akurat, praktis, mudah dirawat, mendukung pembelajaran baik dalam ruangan maupun luar ruangan, dan mengaktifkan layanan yang tak terputus walaupun penggunanya berpindah lokasi. Teknologi ini bekerja dengan memanfaatkan gelombang frekuensi transmisi radio untuk mengidentifikasi suatu objek berupa sebuah piranti kecil yang disebut tag atau transponder, yang merupakan akronim dari transmiter + responder (penerima). Sistem identifikasi pada RFID merupakan tipe sistem identifikasi otomatis yang  bertujuan  untuk memungkinkan  data  yang  ditransmisikan  oleh  tag  RFID dapat dibaca oleh suatu reader (pembaca) RFID yang kemudian akan diproses  sesuai  dengan  kebutuhan  dari  aplikasi yang dibuat. Data yang diterima oleh pembaca RFID merupakan data yang diperoleh dari proses pentransmisian data dari tag. Data tersebut merupakan suatu susunan  nomor unik yang  berisi  informasi  identifikasi  yang  dapat  digunakan untuk  aplikasi  kartu cerdas,  pencarian  lokasi,  maupun informasi spesifik yang terdapat pada suatu produk yang memiliki tag.

Penerapan identifikasi frekuensi radio pada lingkungan pembelajaran ubikuitus pada satuan pendidikan bisa diwujudkan dengan pemasangan tag-tag RFID pada lokasi-lokasi tertentu yang penting. Lokasi-lokasi tersebut misalnya adalah ruang kelas, laboratorium, bengkel, perpustakaan, ruang guru, ruang ibadah dan sebagainya.

Tim pengembang lingkungan pembelajaran ubikuitus menetapkan hubungan antara informasi lokasi-lokasi penting di satuan pendidikan tersebut dengan kode identifikasi di RFID tag kemudian menempatkan tag-tag tersebut pada lokasi-lokasi penting tersebut. Siswa dengan telepon seluler cerdas yang sudah mendukung pembacaan tag RFID maupun NFC (near field communication) bisa memindai tag RFID tersebut. Kode identifikasi yang terdeteksi dari tag RFID kemudian ditransmisikan secara nirkabel ke server sistem pengelolaan pembelajaran. Sistem pengelolaan pembelajaran mengenali lokasi siswa yang memindai tag RFID tersebut, lalu mengirimkan informasi berdasarkan posisi dan kode identifikasi tag RFID ke telepon seluler cerdas siswa tersebut. Informasi yang dikirimkan bisa berupa jadwal guru dan pelajaran pada ruangan tersebut, apa yang bisa dilakukan di ruangan tersebut, peralatan yang ada di ruangan tersebut, dan sebagainya.

Penerapan RFID bisa juga berbalikan dengan deskripsi di atas. Siswa dan guru dibekali dengan kartu identitas yang disematkan padanya tag RFID. Tag RFID pada kartu identitas ini berisi informasi data diri pemegang kartu bersangkutan. Pembaca-pembaca tag RFID ditempatkan di lokasi-lokasi penting di sekolah seperti ruang kelas, perpustakaan, bengkel, laboratorium, aula, dan sebagainya. Setiap kali pemegang kartu memasuki lokasi-lokasi tersebut, pembaca tag RFID akan mengirimkan kode tag RFID yang bersangkutan dan mengirimkannya ke server sistem pengelolaan pembelajaran. Dari sistem pengelolaan pembelajaran bisa diketahui lokasi sekarang pemegang kartu tersebut. Hal ini memudahkan pengelolaan sistem kehadiran pada saat pembelajaran tatap muka. Tentu akan lebih baik jika lingkungan pembelajaran ubikuitus mampu menerapkan dua moda penggunaan RFID sebagaimana disebutkan.

Tentu saja langkah-langkah implementatif pengembangan lingkungan pembelajaran ubikuitus ini melahirkan tantangan-tantangan. Alokasi waktu dan kerja yang lebih keras dari tim pengembang merupakan sebuah tantangan tersendiri. Usaha memotivasi guru-guru agar berperan aktif dalam sistem pengelolaan pembelajaran juga merupakan sebuah tantangan. Tak lepas dari hal ini adalah biaya yang timbul dari pengembangan lingkungan pembelajaran ubikuitus ini.

SIMPULAN

  1. Pengguna internet terbanyak di Indonesia adalah pelajar usia sekolah menengah. Hal ini merupakan peluang untuk pengembangan sistem pembelajaran yang bisa diakses kapan saja dan di mana saja. Pengembangan sistem tersebut bisa dilakukan dengan memproyeksikan apa yang telah dilakukan oleh Republik Korea. Negeri ginseng tersebut merupakan salah satu negara yang terdepan dalam masalah impelementasi teknologi informasi dan komunikasi, termasuk dalam ranah pendidikan. Salah satu hal yang bisa dicontoh dari Korea Selatan adalah pengembangan lingkungan pembelajaran ubikuitus.
  2. Dengan adanya faktor-faktor pendukung seperti penggunaan telepon cerdas oleh pelajar Indonesia, penggunaan sistem pengelolaan pembelajaran oleh sekolah-sekolah, dan tersedianya titik-titik akses ruang sinyal, transisi dari pembelajaran elektronis ke lingkungan pembelajaran ubikuitus adalah hal yang niscaya untuk dilakukan.
  3. Rancangan lingkungan pembelajaran ubikuitus pada satuan pendidikan terdiri atas empat komponen, yaitu server yang menyediakan perangkat lunak sistem pengelola pembelajaran (learning management system), titik-titik akses, telepon cerdas yang di dalamnya terinstall aplikasi untuk mengakses sistem pengelola pembelajaran, dan sistem identifikasi frekuensi radio.

Daftar Pustaka

APJII. (2019). “Survei APJII yang Ditunggu-tunggu, Penetrasi Internet Indonesia 2018”. Terbit di Bulletin APJII, Mei 2019.

Cambridge International. (2018, November 27). Indonesian Students among The World’s Highest Users of Technology. Retrieved Agustus 26, 2019, from Cambridge International: https://www.cambridgeinternational.org/news/news-details/view/indonesian-students-among-the-worlds-highest-users-of-technology-27-nov2018/

Haryanto, A. T. (2019). Pengguna Internet Didominasi Milenial. Retrieved Agustus 26, 2019, from detikInet: https://inet.detik.com/telecommunication/d-4551389/pengguna-internet-indonesia-didominasi-milenial

Hootsuite. (2019, Januari). Data 2019: Indonesia. Retrieved Agustus 26, 2019, from Data Reportal Global Digital Insights: https://datareportal.com/reports/digital-2019-indonesia

ITU News. (2018, Februari 12). How the Republic of Korea became a world ICT leader. Retrieved Agustus 21, 2019, from International Telecommunication Union News: https://news.itu.int/republic-korea-leader-information-communication-technologies/

Jung, H.-J. (2014). Ubiquitous Learning: Determinants Impacting Learners’ Satisfaction and Performance with Smartphones. Language Learning and Technology, 97-119. Retrieved from https://scholarspace.manoa.hawaii.edu/bitstream/10125/44386/18_03_jung.pdf

Kang, B. H., & Kim, H. (2015). Proposal: A Design of U-Learning Module Application for Multi-Cultural Students in Korea. International Journal of Software Engineering and Its Applications, Vol. 9, No 1, 167-172. Retrieved from http://modul.repo.mercubuana-yogya.ac.id/modul/files/pkk/OpenJournalOfEconomy/14_149.pdf

Lee, S. H., Han, J. H., Leem, Y. T., & Yigitcanlar, T. (2008). Towards Ubiquitous City: Concept, Planning, and Experiences in the Republic of Korea. IGI Global, Information Science Reference, 148-169. Retrieved from http://eprints.qut.edu.au/26131/2/26131.pdf

Li, L., Zheng, Y., Ogata, H., & Yano, Y. (2005). A Conceptual Framework of Computer-Supported Ubiquitous Learning Environment. IASTED International Conference Web-Based Education, (pp. 243-248). Grinderwald, Switzerland. Retrieved from https://www.researchgate.net/profile/Hiroaki_Ogata2/publication/250152477_A_Conceptual_Framework_of_Computer-Supported_Ubiquitous_Learning_Environment/links/562ae0a608ae518e347f845a.pdf

Liu, T.-Y., Tan, T.-H., & Chu, Y.-L. (2009). Outdoor Natural Science Learning with an RFID-Supported Immersive Ubiquitous Learning Environment. Educational Technology and Society, 161-175. Retrieved from https://www.researchgate.net/profile/Tan-Hsu_Tan/publication/220374476_Outdoor_Natural_Science_Learning_with_an_RFID-Supported_Immersive_Ubiquitous_Learning_Environment/links/54e9941e0cf2f7aa4d536413/Outdoor-Natural-Science-Learning-with-an-RFID-Supported-Immersive-Ubiquitous-Learning-Environment.pdf

Severin, E., & Capota, C. (2011, August). The Use of Technology in Education: LEssons from South Korea. IDB Education. Retrieved from https://core.ac.uk/download/pdf/51179826.pdf

Weiser, M. (1993, October). Hot Topics-Ubiquitous Computing. Computer, Volume 26, no 10, pp. 71-72. Retrieved from http://www.informatik.hs-furtwangen.de/~hanne/Pervasive/ACM-ACS-SS08/Ubiq-MarkWeiser.pdf

Weiser, M. (1998, October). The Future of Ubiquitous Computing on Campus. Communications of The ACM, Volume 41, no 1, pp. 41-42. Retrieved from http://www.ee.oulu.fi/~skidi/teaching/mobile_and_ubiquitous_multimedia_2002/the_future_of_ubiquitous_computing_on_campus.pdf

Yahya, S., Ahmad, E. A., & Jalil, K. A. (2010). The Definition and Characteristics of Ubiquitous Learning: A Discussion. Interational Journal of Education and Development using Information and Communication Technology, 117-127. Retrieved from https://www.learntechlib.org/p/188069/article_188069.pdf

 

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *